Pertemuan

Hari ini saya punya janji. Pukul 12 di depan tempat biasa, begitu katanya. Masih terngiang-ngiang suara itu dalam tidur saya yang baru beberapa jam saja. Lalu terdengar suara lain lagi. Suara adik saya. Ah, ternyata itu suara nyata… yah, saya harus bangun untuk ikut menikmati sarapan.

Prata, prata isi telur, dengan kuah kari-karian. Cukup membuat nafsu makan saya menggebu-gebu. Prata telur berbentuk kotak. Prata biasa, bundar. Seperti jam. Di atas piring makan, saya lihat prata yang kuning karena tersiram kuah kari itu. Membayang terpantul di atasnya, dua buah angka.

12

Dalam hitungan detik, kedua angka itu sudah berada dalam kerongkongan saya.

8.30. Masih empat setengah jam lagi menuju pertemuan. Saya mulai menghitung waktu. Baiklah, dimulai dari titik nol, jam 12 tepat. Saya berdiri tepat di tempat pertemuan. Lalu waktu berjalan mundur. Saya berjalan mundur. Kembali ke tempat parkir. Kembali ke jalanan. Sampai di depan rumah. Melihat jam di layar ponsel, 11.30. Waktu terus bergerak mundur. Saya menyisir rambut, saya menyemprot wewangian, saya memakai baju, saya memilih baju. Saya keluar kamar mandi, saya masuk kamar mandi, saya mengambil handuk, saya mendongak melihat jam dinding. Jam 11.

Dalam sekelebat mata, saya kembali ke masa kini. Jam besar di ruang tamu sudah berubah bentuk. Jarum panjang telah menggelincir 30 derajat. Sekarang pukul 8.35. Ada 3 jam 25 menit sebelum saya bersiap pergi. Cukup waktu untuk melakukan banyak hal. Saya berpikir untuk mencuci motor yang kotor. Setengah jam paling lama. Mungkin mendengar musik sambil membaca koran minggu atau cerpen. Setengah jam juga. Dua jam 25 menit tersisa, saya bisa mulai menulis cerita ini, lalu menonton acara televisi minggu pagi yang membosankan, lalu melamunkan sesuatu -- atau seseorang, lalu sekadar duduk-duduk saja di atas tempat tidur dan membayangkan pertemuan nanti. Tapi tiba-tiba saja saya mendongak ke atas. Saya melihat jam dinding. Jam 11.

Andai waktu secepat itu. Saya sudah tidak sabaran menanti saat pertemuan. Pukul 12 di tempat biasa, begitu katanya. Tapi waktu memang tak pernah terasakan. Selalu berlalu begitu saja bagai udara. Lantas manusia akan selalu mengeluhkan waktu yang bagai tidak pernah cukup untuk mereka. Padahal setiap hari selalu sama. Dua puluh empat jam.

Enam belas menit sudah lewat sejak pukul 11.00. Saya masih berusaha memejamkan mata. Berharap mendengar suara adik saya yang mengajak sarapan. Tapi cuma suara itu yang terus mengiang di telinga saya.

Pukul 12 di tempat biasa.

Mata saya perih. Kelihatannya saya akan telat.

(Ruang tengah. Malam. 16 Juli 2006)

About this entry