Kabut

Di luar cuma kabut. Yang belum pernah hilang sejak malam kelam itu.
Dan sejak itu pula, sampai kini, Alina tak kunjung pulang.
Aku hanya terus menatap keluar melalui jendela yang telah rapuh termakan rayap. Cuma putih. Cuma kabut. Siang dan malam hanya soal terang dan gelap. Selebihnya, putih.
Alina... Ke mana gerangan ia? Mungkin ia telah menemukan apa yang dicarinya di luar sana. Mungkin. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi di luar sana? Aku tak tahu sama sekali.
Sungguh malang, kabut ini telah mengasingkanku di tanah kelahiranku sendiri. Di rumahku! Hhh.. Entah apa yang harus kulakukan.
Tak ada...
Semua telah pergi...
Satu per satu, Alina.. Maneka.., dan Sukab.. Sukab yang bodoh. Sudah kubilang padanya untuk tetap di dalam rumah. Tapi ia.. ia malah keluar mencari Maneka yang mencari Alina. Dan tentu saja, seperti Alina, dan Maneka, aku tahu ia tak akan pernah kembali.
Kabut itu bagaikan lubang hitam, menghisap mereka tanpa sisa.
Sekarang tinggal aku sendiri di sini. Menatap kabut di luar yang masih dan selalu putih. Sungguh, tak ada yang dapat kulakukan. Aku hanya bisa duduk dan menunggu. Entah sampai kapan.

About this entry